Ini kisahku. Kisah perjalananku
merubah status. Aku tak tak tahu kapan cerita ini akan berakhir. Tapi akan
kutuliskan semuanya di sini agar bisa menjadi pelajaran bagi semua. (walau banyak absurdnya.. hehe).
Matahari
telah melewati puncak tertingginya. Raka’at terakhir telah dilakukan jamaah.
Orang-orang kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sebagian ada yang beristirahat
sembari menunggu jam kerja. Begitupun aku, bersiap dengan segala
perlengkapanku. Draft, kuisioner, data awal. Semua sudah kupersiapkan dalam
bimbingan kali ini. Ya.. Bimbingan skripsi. Sebuah kata yang horror bagi
sebagian Mahasiswa. Tapi bagiku ini adalah pembuktian. Menciptakan sebuah karya
fenomenal setelah lebih dari empat tahun bergelut dengan buku, kelas,
praktikum, diskusi, dan tugas.
“Sebentar ya, dek..”, pinta ibu dosen untuk
menunggu di sebuah lorong ruangan.
Di
dalam ruangan sayup-sayup terdengar obrolan seorang wanita dewasa yang tak lain
adalah ibu dosen, dan seorang Mahasiswa. Ternyata ia juga sedang bimbingan.
Dari dalam tampak ibu dosen melontarkan beberapa pertanyaan yang tak mampu
dijawab si Mahasiswa. Mahasiswa itu hanya bisa menjawab singkat disertai senyum
meringis sebagai ungkapan maaf, saya
tidak tahu.
“Serem
banget di dalam !”. Begitu pikirku dalam hati.
Sembari
menunggu, kuteliti lagi kelengkapan yang aku bawa (bisa gawat kalo ketinggalan). Sepuluh menit berlalu, belum juga ada
tanda-tanda diskusi di dalam akan selesai. Untuk menghilangkan rasa bosan,
kumainkan gadget. Kuperiksa semua notfikasi
adakah pesan dari yang belum sempat kubalas. Rupanya tidak ada (pantes aja orang gak ada sinyal), hanya
beberapa spam email yang aku sendiri
malas membukanya. Sekitar menit ke 15 ibu dosen keluar dan berkata,
“Dek,
silakan masuk !”
Aku
pun masuk ke dalam ruangan. Dalam ruangan itu terdapat bilik-bilik yang lebih
kecil, dimana itu adalah ruang kerja para dosen. Ditengah ruangan terdapat meja
lonjong dengan beberapa kursi berwarna hijau yang mengintari. Di sisinya
terdapat dispenser dengan air yang hanya tinggal setengah gallon. Seberang meja
ada rak dengan nama dosen disetiap kolomnya. Ini adalah tempat dimana Mahasiswa
dan Dosen berdiskusi.
“Ini
bu, proposal yang sudah saya perbaiki. Dan ini contoh kuisioner yang akan
disebarkan”. Ucapku sembari menyodorkan beberapa lembar kertas yang di klip.
“Sebentar
saya periksa dulu. Ini yang kemarin sudah diperbaiki ?”.
“Sudah,
bu…”, Jawabku (perasaan tadi udah bilang
kan ya…).
“Sudah berapa kali
konsultasi dengan dosen 2 ?”. Tanya ibu dosen (oh ya.. kawan. Di fakultas kami, skripsi dibimbing oleh dua orang
dosen dan ibu ini adalah dosen 1).
“Baru
beberapa kali, bu. Setiap kali bimbingan yang dibahas bukan riset tapi bisnisnya”,
Jawabku.
“Ya
sudah, langsung ke pembimbing 2 !. Saya mau makan dulu”.
“Siap…
!”
Setelah
mohon izin, aku beranjak menuju bilik dosen 2, kebetulan ruangannya tepat di
sebelah ruang diskusi. Dalam ruangan itu duduk seorang pria paruh baya, berbaju
merah, dan sedang menatap layar laptop. Sepertinya beliau sibuk mengerjakan
sesuatu. Jemarinya tak berhenti beradu keypad
laptop. Raut wajahnya terlihat serius. Setelah kuketuk pintu,
“Ya,
silakan masuk !”, Pintanya.
Aku
pun masuk dan mengambil posisi duduk tepat di depannya. Ku berikan draft
proposal skirpsiku. Aku berharap beliau segera membaca dan menyetujuinya
sehingga bisa melanjutkan ke tahap riset berikutnya. Tapi yang terjadi,
jangankan membacanya, menatapku pun beliau tak sempat. Sebagai Mahasiswa yang
baik aku wajib menunggu. Mungkin sebentar lagi juga selesai, pikirku demikian.
Tapi
apa yang aku pikirkan hanya menjadi sebuah pikiran. Kenyataannya aku menunggu
hampir 20 menit dan itu tepat dihadapan beliau, bukan di luar ruangan (Kebanyang kan freaknya gimana…).
Mengambil sesuatu di dalam tas, membuka gadget, mencorat-coret kertas kosong
sudah aku lakukan demi terlihat sibuk di depan beliau, sehingga beliau tidak
merasa terbebani dengan aku yang menunggunya. Tapi jemarinya tak kunjung
selesai bekerja. Sorot matanya terlihat tajam tatkala menemukan sesuatu yang
ganjil dalam pekerjaannya.
Karena
menurutku sudah terlalu lama, maka kuberanikan diri untuk bertanya,
“Pak
ini drafnya mau di tinggal, atau gimana ?”.
“oh..
sebentar dek”. Jawabnya
Ok,
berarti sebentar lagi selesai, lalu beliau akan mengalihkan perhatiannya padaku
hahaha.. (apaan sih !). Semua berubah
ketika beliau menerima telepon dari seseorang, suaranya yang samar-samar
sepertinya seorang wanita. Ternyata itu dari lembaga yang bekerjasama dengan
beliau (maklum dosen, banyak proyek..).
Setelah menerima telepon beliau berucap,
“Di
tinggal saja ya, dek. Besok saya baca !”.
To be continue...
<- back Part 1
No comments:
Post a Comment