Aku termangu, dengan
selembar kertas yang sedikit kusut karena terlalu lama disimpan. Ini adalah
hari kesekian untuknya yang tak kunjung bertemu dengan dosen pembimbingnya.
Setelah sekian lama ia terlena dengan kenyamanan, larut dalam aktifitas
kegemaran, sehingga lupa akan sebuah tanggungjawab yang harus kuselesaikan.
Sebuah tanggungjawabku sebagai seorang akademisi, tanggungjawab akan janjin kepada bangsaku,
tanggungjawab atas cita-citaku yang hanya tinggal selangkah lagi akan tercapai. Berawal dari sebuah film anak-anak, Aku ini terinspirasi oleh
sebuah sosok peran dalam film itu. Dalam film itu sang tokoh tinggal area
pinggiran kota, rumahnya dikelilingi oleh perkebunan yang luas, masyarakat
sekitar yang segan pada dirinya. Tokoh itu berperan sebagai seorang insinyur
pertanian. Sebuah profesi yang tak pernah terpikirkan dalam benakku . Namun, tekadku bulat untuk menjadi seperti tokoh film tersebut.
Setiap kali ada kesempatan untuk mengungkapkan cita-cita entah itu di depan
kelas, karangan bebas, atau sekedar biodata, menjadi seorang insinyur pertanian
tak pernah lepas dari pikiranku.
Seiring berjalannya waktu idealisme akan dunia pertanian semakin
menggelora dalam dadaku. Emosiku seketika naik tatkala ia mendengar, membaca,
atau melihat pihak yang berusaha melawan dunia pertanian. Semangat itu tumbuh
hingga sampai pada pendaftaran kuliah. Teknologi Industri Pertanian adalah
pilihanku. Waktu berjalan dengan cepatnya perlahan tapi menghanyutkan
idealisme akan dunia pertanian kini tergerus oleh lingkungannya semenjak
diperkenalkan oleh makhluk bernama rupiah. Hari ini adalah tahun keempat aku ini menjalani pedidikan disebuah universitas ternama. Tapi entah apa yang
terjadi, setelah sekian lama idealisme itu tertidur kini tanpa sengaja kembali
bangkit ketika menghadapi satu fase dalam pendidikan “Skripsi”.
Next Part 2....
Next Part 2....
No comments:
Post a Comment